Sabtu, 19 Februari 2011


MENITI KESEMPURNAAN IMAN
Penulis
Munzir Al Musawa
Editor, Desain Sampul & Layout
Team Kreatif MR
Cetakan Pertama
2009
Penerbit, Majelis Rasulullah Saw
Tel, 021-7986709
Http://www.majelisrasulullah.org
Copyright © 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved

Daftar Isi

        KATA PENGANTAR        
DAFTAR ISI
1. Istighatsah
2. Peringatan malam Nisfu Sya’ban.   
3. Membuat bangunan atau membangun masjid diatas kuburan  
4. Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw    
5. Tabarruk   
6. Memohon pertolongan kepada orang yang telah mati.   
7. Ibadah di malam Isra Mi’raj  
8. Keutamaan tauhid.    
9. Mengambil keberkahan atas jimat atau tulisan ayat –  ayat Alqur’an   
10. Menyembelih binatang dengan nama selain Allah     
11. Meminta pertolongan kepada selain Allah.    
12. Sikap berlebih – lebihan dalam ibadah 
13. Thawaf di kuburan.     
14. Bertanya sesuatu hal kepada shalihin
15. Mencintai dan takut kepada Allah melalui perantara Kekasih-Nya
16. Bergantung kepada Nabi Muhammad Saw 183
17. Memberi nama harus disandarkan kepada Nama Allah
18. Melukis / mengagungkan / menggantung gambar makhluk bernyawa. 
19. Memuliakan orang shalih
20. Menghukum dengan hukum selain hukum Allah.
21. Bersumpah atas nama selain Allah
22. Golongan yang selamat

1. Meniti Kesempurnaan Iman


1. Pernyataan Abdullah bin Baz bahwa Istighatsah itu syirik. Dan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Saw ditanya “Dosa apakah yang paling besar?”, beliau menjawab “(dosa yang paling besar) ialah kamu menjadikan (Tuhan) tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu”. Maka setiap orang yang menyeru selain Allah atau beristighatsah, bernadzar, menyembelih dan memberikan sesuatu dari jenis ibadah kepada selain Allah berarti ia telah menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah, baik ia seorang Nabi, Wali, Malaikat, Jin, Berhala maupun makhluk – makhluk lainnya.
Adapun meminta tolong kepada seseorang yang masih hidup serta hadir untuk melakukan sesuatu yang dalam batas kemampuannya, tidaklah termasuk perbuatan syirik. Akan tetapi itu merupakan hal – hal biasa yang boleh dilakukan sesama kaum muslimin. Sebagaimana yang diabadikan Allah dalam kisah Nabi Musa. “Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” QS. Al Qashash: 15. Dan dalam ayat lain tentang Musa, Allah berfirman:  “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu – nunggu dengan khawatir” QS. Al Qashash: 21. Atau sebagaimana seseorang meminta bantuan teman – temannya dalam peperangan atau dalam situasi – situasi sulit lainnya, dimana sebagian orang membutuhkan bantuan sebagian yang lain. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan Nabi- Nya Swt untuk memaklumkan kepada umat manusia bahwa dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan mudharat. Allah Swt berfirman : “Katakanlah “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan - N y a ” . Katakanlah “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan” QS. Al Jin: 20-21.
Dan dalam surat Al A’raaf, Allah berfirman “Katakanlah “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak – banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang – orang yang beriman” QS. Al A’raaf: 188.  Dan banyak lagi ayat – ayat yang semakna dengannya. Nabi Saw tidak ber doa kecuali kepada Tuhannya dan tidak meminta pertolongan melainkan kepada-Nya. Ketika perang Badr, beliau (saw) memohon bantuan (istighatsah) dan pertolongan untuk mengalahkan musuhnya kepada Allah Swt. Tidak henti – hentinya beliau (saw) memohon dan bermunajat kepada Allah seraya berkata “Wahai Tuhanku! Tunaikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku!”, sampai – sampai Abu Bakar As-Shiddiq merasa belas kasihan kepadanya dan berkata “Cukuplah sudah, wahai Rasulullah engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Allah pasti akan menepati janjiNya kepadamu”. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut – turut”. Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” QS. Anfaal: 9-10.
Di dalam ayat – ayat ini, Allah mengingatkan mereka saat mereka memohon bantuan kepadaNya. Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim bala bantuan malaikat – malaikat. Kemudian Dia menjelaskan bahwa kemenangan yang mereka raih itu bukan karena bantuan malaikat itu, akan tetapi hanya sekedar untuk menentramkan hati mereka dengan kemenangan itu datangnya dari sisi Allah. dan di dalam surat Ali Imran, Allah Swt berfirman “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang – orang yang lemah. Karena itu bertawakkal kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” QS. Ali Imran: 123.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dialah Sang Penolong mereka pada hari peperangan Badr. dengan demikian, diketahui bahwa apa yang diberikan- Nya kepada mereka berupa keselamatan, kekuatan dan bala bantuan malaikat, semua itu hanyalah sebagai sebab (sarana yang diberikan Allah) untuk mendapatkan kemenangan, kegembiraan dan ketentraman. Dan pada hakikatnya kemenangan itu bukan karena sebab – sebab itu, akan tetapi berasal dari Allah semata. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin penulis wanita ini dan selainnya menunjukkan permohonan bantuan dan pertolongan kepada Nabi Saw dan berpaling dari Tuhan semesta alam, Yang Maha Memiliki dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu?! Tidak diragukan lagi, ini adalah kebodohan yang nista bahkan merupakan syirik besar.

Tanggapan Habib Munzir Al Musawa tentang Istighasah: Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya. Untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah Islam. Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt. Maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt. Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manf aat dan kematian adalah mus tahilnya manf aat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian. Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokter-lah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter.  Maka ia telah membatasi kodrat Allah Swt untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tidak mustahil dari petani, atau bahkan sembuh dengan sendirinya. Terkadang kita tak menyadari bahwa kita lebih banyak mengambil manfaat dalam kehidupan ini dari mereka yang telah mati daripada yang masih hidup, sungguh peradaban manusia, tuntunan ibadah, tuntunan kehidupan, modernisasi dan lain sebagainya. Kesemua para pelopornya telah wafat, dan kita masih terus mengambil manfaat dari mereka, muslim dan non muslim. Seperti teori Einstein dan teori – teori lainnya, kita masih mengambil manfaat dari yang mati hingga kini, dari ilmu mereka, dari kekuatan mereka, dari jabatan mereka, dari perjuangan mereka. Cuma bedanya kalau mereka ini kita ambil manfaatnya berupa ilmunya. Namun para shalihin, para wali dan muqarrabin kita mengambil manfaat dari imannya dan amal shalihnya, dan ketaatannya kepada Allah.
Rasul Saw memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau saw “sungguh matahari mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka beristighatsah (memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka beristighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa apa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad Saw” (Shahih Bukhari hadits No.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim hadits No.194, Shahih Bukhari hadits No.3162, 3182, 4435.
Dan banyak lagi hadist – hadits shahih yang Rasul Saw menunjukkan ummat manusia beristighatsah pada para Nabi dan Rasul. Bahkan riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam,  “Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua manusia.. “ dst.. dst...Dan Adam as ber kata “Dir iku..dir iku.., pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka ber-istighatsah memanggil – manggil Muhammad Saw dan Nabi Saw sendiri yang menceritakan ini dan menunjukkan beliau tak mengharamkan Istighatsah. Maka hadits ini jelas - jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul saw menceritakan bahwa orang - orang ber-istighatsah kepada manusia, dan Rasul saw tidak mengatakannya syirik. Namun  jelaslah istighatsah di hari kiamat ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad Saw. Demikian pula diriwayatkan bahwa di hadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra: “ Sebut nama orang yang paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara keras..: “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.
Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn Abbas ra yang mengajari hal ini. Kita bisa melihat kejadian Tsunami di Aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300 km dan kekuatannya ratusan juta ton. Mereka tak menyentuh masjid tua dan makam - makam shalihin, hingga mereka yang lari ke makam shalihin selamat. Inilah bukti bahwa istighatsah dikehendaki oleh Allah swt, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam - makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Ilahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang taat pada Nya swt, tubuh - tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber Rahmat dan perlindungan-Nya Swt kepada mereka – mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.
Kesimpulannya: mereka yang lari berlindung pada hamba – hamba Allah yang shalih, mereka selamat, mereka yang lari ke masjid – masjid tua yang bekas tempat sujudnya orang – orang shalih maka mereka selamat, mereka yang lari dengan mobilnya tidak selamat, mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat.
Pertanyaannya adalah: kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan-Nya Swt? kenapa bukan orang yang hidup? kenapa bukan gunung? kenapa bukan perumahan? Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini ber-istighatsah pada shalihin.
(Walillahittaufiq)

2. Meniti Kesempurnaan Iman


 2. Pernyataan Abdullah bin Baz bahwa memperingati malam nisfu sya’ban adalah bi’dah. Allah Ta’ala berfirman “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” Qs. Al Maidah: 3. ”Apakah mereka mempunyai sembahan – sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” QS. Asy Syura: 21.
Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, ‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa yang mengada - adakan dalam urusan agama kami maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”. Dalam Shahih Muslim dari Jabir radiyallahu anhum bahwa Nabi Saw bersabda ”Sesungguhnya sebaik – baik perkataan adalah Al Quran, sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, sejelek - jelek perkara adalah hal - hal yang diada – adakan di dalam agama (bid’ah) dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Banyak lagi ayat dan hadits lain yang senada dengan ayat dan hadits diatas yang secara tegas menunjukkan bahwa Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya untuk umat ini dan Rasulullah Saw sebelum wafatnya telah menyampaikan secara lengkap dan jelas kepada umat semua apa yang disyari’atkan Allah, baik berupa perkataan maupun amal perbuatan. Rasulullah Saw juga telah menjelaskan bahwa apa saja yang diada – adakan oleh orang – orang yang datang sesudahnya dan mereka nisbatkan kepada Islam baik berupa perkataan maupun amal perbuatan, maka semua itu adalah bid’ah yang ditolak dan tidak diterima, sekalipun diada – adakan oleh pelakunya atas niat dan tujuan yang baik.
Hal itu telah diketahui oleh para sahabat dan para ulama yang datang setelah mereka. Oleh karena itu, mereka mengingkari segala bentuk bid’ah dan mengingatkan manusia untuk tidak terjerumus kedalamnya. Sebagaimana yang tertera dalam karya – karya Ibnu Wadhdhah, Thurthusyi, Abu Syamah dan lainnya, tentang pengagungan Sunnah dan pengingkaran terhadap bid’ah. Di antara  bid’ah yang diada – adakan oleh sebagian orang adalah memperingati malam pertengahan Sya’ban serta mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa. Padahal, tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sebagai landasannya. Memang ada beberapa hadits lemah yang menjelas kan f adhilahnya namun tidak bisa dijadikan landasan. Sedangkan hadits – hadits yang menjelaskan keutamaan shalat di hari itu, menurut kebanyakan ahli hadits semuanya adalah hadits palsu. Berikut ini akan kita paparkan sebagian dari komentar mereka.  Terdapat juga beberapa atsar dari sebagian salaf dari kalangan penduduk Syam dan selain mereka. Telah menjadi kesepakatan  jumhur ulama bahwa memper ingati malam ter sebut adalah bid’ah . Hadits – hadits yang menjelaskan tentang keutamaannya adalah dhaif ( lemah) bahkan sebagiannya adalah palsu, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” dan lainnya. Hadits dha’if baru boleh diamalkan dalam hal ibadah yang sudah ada dasarnya dari hadits – hadits yang shahih, sedangkan memperingati Nishfu Sya’ban tidak ada satupun dasarnya dari hadits yang shahih sehingga bisa dijadikan alasan untuk mengamalkan hadits dha’if tersebut. Wahai para pembaca, berikut ini saya akan nukil kepada anda perkataan sebagian ulama tentang masalah ini, sehingga benar – benar dipahami. Para ulama telah sepakat bahwa kita wajib mengembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Apa yang tertera dalam keduanya atau salah satunya itulah syari’at yang wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka wajib ditolak. Apapun bentuk ibadah yang tidak tertera dalam keduanya adalah bid’ah yang tidak boleh diamalkan apalagi menganjurkan orang lain untuk melakukannya.
Allah berfirman  ”Hai orang – orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu” QS. Asy Syura: 10. “Katakanlah “Jika kamu benar – benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa – dosamu” Qs. Ali Imran: 31. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” QS. An Nisa: 59.
Banyak lagi ayat – ayat lain yang senada dengan itu. Ayat – ayat tersebut dengan tegas menunjukkan akan  kewajiban untuk mengembalikan permasalahan - permasalahan yang diperselisihkan kepada Al Quran dan Sunnah serta ridha dengan hukum yang ada pada keduanya. Dan hal itu merupakan konsekwensi iman serta kemaslahatan bagi para hamba di dunia dan akhirat kelak.
Al Hafiz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” dalam masalah ini menjelaskan sebagai berikut  “Para tabi’in dari kalangan penduduk Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lainnya, mereka memuliakan malam Nisfu Sya’ban dan melakukan ibadah sebanyak mungkin padanya. Dari merekalah orang – orang mengambil keutamaan dan kebesaran malam tersebut. Dan menurut satu pendapat, mereka menerima beberapa Atsar Israiliyyat. Tatkala hal ini masyhur bersumber dari mereka di mana – mana, para ulama berselisih pendapat dalam menanggapinya. Ada yang menerima dan menyetujui mereka dalam membesarkan malam tersebut seperti sebagian ahli ibadah dari kalangan penduduk Bashrah dan selain mereka. Sedangkan mayoritas ulama Hijaz mengingkarinya seperti “Atha dan Ibnu Abi Mulaikah dan Fuqaha (ulama fiqih) Madinah seperti dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Ini adalah pendapat para pengikut Imam Malik dan selain mereka, semua mereka mengatakan bid’ah”.
Para ulama dari Syam sendiri, berselisih pendapat tentang teknis menghidupkan malam tersebut.
Pendapat pertama: Disunnahkan menghidupkan malam tersebut secara berjama’ah dalam masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin‘ Amir dan lainnya, memakai pakaian yang terbagus pada malam tersebut, memakai harum – haruman dan bercelak, lalu mereka beribadah di masjid. Hal ini disetujui pula oleh Ishak bin Rahawaih, beliau berkata tentang menghidupkannya di masjid secara berjama’ah. Hal ini tidaklah termasuk  “bid’ah”, dinukil darinya oleh Al Karmani dalam “Al Masaail”.
Pendapat kedua: Makruh hukumnya berkumpul di masjid pada malam tersebut, baik untuk shalat, bercerita dan berdoa. Tetapi tidak makruh bagi seseorang yang melakukan shalat (beribadah) pada malam itu dengan sendirian. Ini adalah pendapat Awza’i, seorang ulama dan ahli fiqih dari Syam. Pendapat ini Insya Allah lebih dekat kepada kebenaran. Sedangkan Imam Ahmad, tidak diketahui komentar beliau secara tegas tentang menghidupkan malam  Nisfu Sya’ban. Namun dapat ditakhrij dari beliau dua riwayat berdasarkan dua riwayat pendapat beliau dalam masalah menghidupkan malam dua hari raya untuk ibadah. Dalam satu riwayat beliau mengatakan, tidak mustahab (dianjurkan) menghidupkan malam tersebut secara berjama’ah karena hal itu tidak ada sama sekali dinukil dan Nabi Saw juga para sahabat. Dalam riwayat lain, beliau mengatakan hal itu mustahab berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Yazid bin Aswad dari kalangan tabi’in. begitu pula halnya dengan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban untuk beribadah, tidak ada dinukil dari Nabi Saw dan juga para sahabatnya, hanya saja sekelompok tabi’in dari kalangan ulama Syam pernah melakukannya.
Demikianlah, secara ringkas perkataan Al Hafiz Ibnu Rajab dalam masalah tersebut. Secara tegas beliau mengatakan bahwa tidak ada sama sekali dinukil dari Nabi Saw dan para sahabatnya tentang beribadah secara khusus pada malam Nisfu Sya’ban.  Sedangkan pendapat Awza’i tentang dianjurkannya beribadah pada malam tersebut secara perorangan dan diikuti oleh Al Hafiz Ibnu Rajab adalah lemah, karena segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syari’at maka hal itu tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim baik secara berjama’ah atau sendirian baik secara sembunyi ataupun terang – terangan, berdasarkan sabda Nabi Saw “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu akan ditolak”. Dan dalil – dalil umum lainnya yang menunjukkan pengingkaran terhadap perbuatan bid’ah dan menghindarinya.
Imam Abu Bakar Ath Thar thusyi dalam bukunya  “Al Hawadits Wal Bida”, mengatakan “Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, beliau berkata “Kami tidak mendapatkan seorang pun diantara guru dan ulama kami, yang memberikan perhatian khsusus kepada malam Nisfu Sya’ban. Mereka juga tidak menoleh (berhujjah) kepada hadits Makhul dan tidak pula melihat adanya keutamaan khusus beribadah pada malam tersebut”.
Seseorang mengatakan kepada Ibnu Abi Maikah bahwa Ziyad An Numairi berkata“Sesungguhnya pahala beribadah pada malam Nisfu Sya’ban sama dengan pahala beribadah pada malam “Lailatul Qadar”. Beliau menjawab “kalaulah aku yang mendengarnya, kemudian di tanganku ada tongkat, niscaya aku akan memukulnya. Ziyad terkenal sebagai seorang ahli bercerita”.
Imam AsySyaukani dalam bukunya “Al Fawaid Majmu’ah” berkata “Hadits yang berbunyi “hai Ali, barangsiapa yang melakukan shalat seratus raka’at pada malam Nisfu Sya’ban, yang mana pada setiap raka’at dia membaca Al Fatihah dan Surat Al Ikhlas sebanyak sepuluh kali maka Allah akan memenuhi semua hajatnya”. Hadits tersebut adalah palsu, dari lafal yang menerangkan ganjaran pahala bagi pelakunya. Seorang yang berakal, tidak akan meragukan kepalsuannya, disamping sanadnya yang majhul
(tidak dikenal). Hadits ini juga diriwayatkan dari dua jalur sanad yang lain, tetapi semuanya adalah palsu dan para rawinya majhul (tidak dikenal)”.
Dalam bukunya  “Al Mukhtashar” Imam Syaukani berkata  “Hadits tentang shalat pada Nisfu Sya’ban adalah bathil. Adapun riwayat Ibnu Hibban dari Ali “Apabila datang malam Nisfu Sya’ban, maka lakukanlah qiyamullail dan berpuasalah pada siangnya, adalah lemah”. Dalam bukunya “Allaali” Imam Suyuti berkata “Seratus raka’at pada malam Nisfu Sya’ban (dengan membaca) Al Ikhlas sepuluh kali”, beserta banyak lagi keutamaan lainnya yang diriwayatkan oleh Dailami dan lainnya adalah maudhu’ (palsu), mayoritas perawinya pada ketiga jalur sanadnya adalah majhul dan dhaif”. Dia juga berkata “Dua belas raka’at dan empat belas raka’at dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh kali (pada setiap raka’at) adalah maudhu’ (palsu)”.
Sebagian ahli fiqih, seperti pengarang buku “Ihya Ulumuddin”, begitu juga sebagian ahli tafsir terkecoh dan berpegang dengan hadits tersebut. Hadits tentang melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad yang berbeda – beda. Namun semuanya adalah bathil dan maudhu’.
Ini tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits ‘Aisyah yang menjelaskan perginya Rasulullah Saw ke Baqi’ dan turunnya Tuhan pada Nisfu Sya’ban  ke langit dunia, mengampunkan dosa – dosa manusia sekalipun lebih banyak dari bulu – bulu domba nabi Kalb. Karena pembicaraan disini adalah tentang shalat yang dibuat – buat pada malam tersebut. Disamping itu, sanad hadits ‘Aisyah itu lemah dan terputus, begitu juga hadits Ali diatas yang menganjurkan qiyamullail pada malam itu. Ini tidak menafikan kedudukan shalat ini sebagai yang diada – adakan, di samping lemahnya hadits tersebut, sebagaimana yang telah kita uraikan.
Al Hafizh Al ‘Iraqi berkata “Hadits tentang shalat malam Nishfu Sya’ban adalah maudhu’ dan bohong terhadap Rasulullah Saw”. Imam Nawawi dalam bukunya “Al Majmu” berkata  “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib, yaitu dua belas raka’at antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at yang pertama dari bulan Rajab, begitu juga shalat malam Nishfu Sya’ban seratus raka’at, kedua–duanya disebutkan dalam buku “Quutul Quluub” dan buku “Ihya Ulumuddin”, dan karena adanya hadits yang menjelaskan keduanya. Karena semua itu adalah bathil. Dan juga jangan terpedaya dengan beberapa ulama yang menulis tentang dianjurkannya kedua macam shalat tersebut, karena mereka dalam hal ini adalah shalat”.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi telah menulis sebuah buku yang sangat berharga dan bagus sekali tentang kebathilan kedua macam shalat tersebut. Perkataan ulama dalam masalah ini banyak sekali dan akan sangat panjang lebar kalau kita menukil seluruhnya. Semoga apa yang telah kita paparkan, bisa memuaskan para pembaca. Dari ayat – ayat, hadits – hadits dan perkataan ulama diatas, jelaslah bagi siapa saja menginginkan kebenaran bahwa memperingati dan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban  dengan shalat dan ibadah lainnya serta mengkhususkan siangnya dengan puasa adalah bid’ah yang munkar menurut pendapat kebanyakan ulama, dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at.
Bahkan ia merupakan hal yang diada – adakan dalam Islam setelah masa para sahabat. Dan cukuplah bagi siapa saja menginginkan yang haq dalam masalah ini, firman Allah “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” Qs. Al Maidah: 3.
Dan ayat – ayat lain yang semakna dengannya, begitu pula sabda Rasulullah Saw “Barangsiapa yang mengada – adakan dalam urusan agama kami tanpa ada dasarnya, maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”. Dan hadits – hadits lain yang senada dengannya. Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhum, Rasulullah Saw bersabda “Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam – malam lainnya dengan shalat dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya dengan puasa kecuali kalau itu adalah puasa yang telah dibiasakan oleh salah seorang kamu”.
Seandainya boleh kita mengkhususkan suatu malam untuk ibadah tertentu, tentu malam Jum’at lebih patut untuk hal itu daripada malam lainnya karena Jum’at adalah hari yang paling baik daripada hari – hari yang ada. Berdasarkan beberapa hadits yang shahih dari Rasulullah Saw. Kalau Rasulullah Saw telah melarang kita untuk mengkhususkan malamnya dengan ibadah, tentu mengkhususkan malam – malam yang lain dengan ibadah tertentu akan lebih terlarang lagi. Maka tidak boleh mengkhususkan malam tertentu dengan ibadah tertentu kecuali berdasarkan hadits shahih yang menunjukkan pengkhususan tersebut. Seperti malam  Lailatul Qadar dan malam – malam Ramadhan, tatkala disyari’atkan untuk menghidupkan dan memperbanyak ibadah padanya maka Rasulullah Saw mengingatkan bahkan menghasung umat untuk melakukan qiyamullail di malam – malam tersebut. Dan beliau sendiri melakukannya, sebagaimana yang tertera dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Saw bersabda:“Barangsiapa yang melakukan qiyam pada (malam – malam) Ramadhan dengan penuh rasa aman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampunkan dosa – dosanya yang telah lalu. Barangsiapa yang melakukan qiyam pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala) , niscaya Allah akan mengampunkan dosa – dosanya yang telah lalu”. Seandainya disyari’atkan untuk mengkhususkan ibadah tertentu pada malam Nisfu Sya’ban atau malam Jum’at yang pertama dari bulan Rajab atau malam Isra’ dan Mi’raj maka pasti Rasulullah Saw menghasung umat untuk melakukannya dan Beliau sendiri akan mengamalkannya. Dan kalau hal itu ada terjadi, niscaya para sahabat menukilnya kepada umat dan mereka pasti tidak akan menyembunyikannya karena mereka adalah sebaik – baik pemberi nasehat setelah para Nabi. Semoga Allah meridhai para sahabat Rasulullah Saw.
Di atas telah anda ketahui bahwa tidak ada satupun nukilan yang shahih dari Rasulullah Saw dan para sahabat dari Rasulullah Saw dan para sahabat tentang keutamaan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, begitu pula malam Nisfu Sya’ban. Maka memperingati keduanya merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Begitu pula dengan malam kedua puluh tujuh Rajab, yang diyakini sebagian orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj. Tidak boleh mengkhususkannya dengan ibadah tertentu, begitu pula merayakannya berdasarkan dalil – dalil diatas. Ini kalau benar terjadi pada malam tersebut, padahal menurut pendapat ulama yang benar bahwa malam Isra’ dan Mi’raj itu tidak diketahui. Adapun pendapat yang mengatakan terjadinya pada malam kedua puluh tujuh Rajab adalah bathil. Tidak ada hadits shahih yang mendasarinya. Benarlah apa yang dikatakan seorang ulama pujangga. “Sebaik - baik perkara adalah yang dilakukan berdasarkan petunjuk, sedangkan sejelek - jelek perkara (dalam agama) adalah perbuatan bid’ah yang diada – adakan”.

Tanggapan Ha ib Munzir Al Musawa mengenai pengingkaran atas malam Nisfu Sya’ban : Mengenai doa dimalam Nisfu Sya’ban adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits - hadits berikut: Sabda Rasulullah Saw “Allah mengawasi dan memandang hamba - hambaNya di malam nisfu sya’ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yang pemarah pada sesama muslimin” (Shahih Ibn Hibban hadits No.5755).
Berkata Aisyah ra: “Di suatu malam aku kehilangan Rasul saw, dan kutemukan beliau saw sedang di pekuburan Baqi’, beliau mengangkat kepalanya kearah langit, seraya bersabda: “Sungguh Allah turun ke langit bumi di malam nisfu sya’ban dan mengampuni dosa dosa hamba-Nya sebanyak lebih dari jumlah bulu anjing dan domba” (Musnad Imam Ahmad hadits No.24825).
Berkata Imam Syafii rahimahullah “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam Jum’at, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319). Dengan fatwa ini maka kita memperbanyak doa di malam itu, jelas pula bahwa doa tak bisa dilarang kapanpun dan dimanapun, bila mereka melarang doa maka hendaknya mereka menunjukkan dalilnya?,
Bila mereka meminta riwayat cara berdoa, maka alangkah bodohnya mereka tak memahami caranya doa, karena caranya adalah meminta kepada Allah. Pelarangan akan hal ini merupakan perbuatan mungkar dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah saw “Sungguh sebesar - besarnya dosa muslimin dengan muslim lainnya adalah pertanyaan yang membuat hal yang halal dilakukan menjadi haram, karena sebab pertanyaannya”(Shahih Muslim).
1.Waktunya adalah 14 Sya’ban malam 15 Sya’ban
2.Yang paling pokok adalah berdoa, karena memang ada pendapat para Mufassirin bahwa malam Nisfu Sya’ban adalah malam ditentukannya banyak takdir kita, walaupun pendapat yang lebih kuat adalah pada malam lailatul qadar.
Namun bukan berarti pendapat yang pertama ini batil, karena diakui oleh para muhadditsin, bisa saja saya cantumkan seluruh fatwa mereka akan malam Nisfu Sya’ban beserta bahasa arabnya, namun saya kira tak perlulah kita memperpanjang masalah ini pada orang yang dangkal pemahaman syariahnya.
Para ulama kita menyarankan untuk membaca surat Yaasiin 3x, itu pula haram seseorang mengingkarinya, kenapa dilarang? apa dalilnya seseorang membaca surat Alqur’an? melarangnya adalah haram secara mutlak.
Sebagaimana Imam Masjid Quba yang selalu menyertakan surat Al I khlas bila ia menjadi Imam, selalu ia membaca surat Al Ikhlas di setiap rakaatnya setelah surat AlFatihah, ia membaca AlFatihah, lalu Al Ikhlas, baru surat lainnya. Demikian setiap rakaat ia lakukan, dan demikian pada setiap shalatnya, bukankah ini kebiasaan yang tak diajarkan oleh Rasul saw? bukankah ini menambah nambahi bacaan dalam shalat? Maka makmumnya berdatangan pada Rasul saw seraya mengadukannya, maka Rasul saw memanggilnya dan bertanya mengapa ia berbuat demikian , dan orang itu menjawab  “Inniy Uhibbuhaa (aku mencintainya)”, yaitu ia mencintai surat Al Ikhlas, hingga selalu menggandengkan Al Ikhlas dengan Al Fatihah dalam setiap rakaat dalam shalatnya. Apa jawaban Rasul Saw?, beliau bersabda “Hubbuka iyyahaa adkhalakal Jannah (cintamu pada surat Al Ikhlas itulah yang akan membuatmu masuk sorga)”  hadits ini dua kali diriwayatkan dalam Shahih Bukhari. Dan Shahih Bukhari adalah kitab hadits yang terkuat dari seluruh kitab hadits lainnya untuk dijadikan dalil.
Akan jelaslah Rasul saw tidak melarang berupa ide – ide baru yang datang dari iman, selama tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan kebaikan. Dan doa Nisfu Sya’ban adalah mulia, apa yang diminta? panjang umur dalam taat pada Allah, diampuni dosa - dosa, diwafatkan dalam husnul khatimah. Salahkah doa seperti ini? akankah perkumpulan seperti ini dibubarkan dan ditentang? Tunjukkan pada saya satu hadits shahih atau dhoif yang melarang doa di malam Nisfu Sya’ban? tidak ada!!.
Beramal dengan hadits dhoif adalah boleh, bukan dijadikan dalil hukum syar’iah, bukan dijadikan dalil hukum fardhu atau hukum jinayat atau hukum syar iah lainnya.Mereka tak bisa membedakan antara amal ibadah mustahab dengan hukum fardhu dan syara. Nisfu Sya’ban tak ada perayaan, siapa pula yang merayakannya? cuma wahabi (gelar bagi penganut faham Ibn Abdul Wahhab, sebagaimana pengikut madzhab Imam Malik disebut Malikiy, pengikut Imam Syafi’i disebut Syafi’iy) saja yang menuduhnya, kalau untuk kelompok mereka tidak ada istilah bid’ah dan musyrik, walau pakai pesta dan memajang foto – fotonya di masjid dan dimana - mana. Itu sih tidak mengapa, juga hari ulang tahun kelompoknya, buat pesta besar - besaran dengan menggelar panggung artis dan musik, itu sih tidak mengapa tapi Nisfu Sya’ban bid’ah.
Mengenai fatwa Ibn Baz yang menentang malma Nisfu Sya’ban, tentunya Imam Syafii lebih mulia dari seribu orang semacam pengingkar tersebut, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum Imam Bukhari lahir, dan ia adalah guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal itu hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya. Dan Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “20 tahun aku berdoa setiap malam untuk Imam syafii, dan Imam Syafii adalah Imam besar yang ratusan para Imam mengikuti madzhabnya”.
Mengenai Imam Ghazali beliau adalah Hujjatul Islam, telah hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan bukunya Ihya diakui oleh banyak para Fuqaha dan Huffadh. Beda dengan para wahabi yang diakui sebagai imam padahal mereka tak satupun sampai ke derajat Al Hafidh (hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya), tapi fatwanya menghukumi hadits - hadits seakan mereka itu para Nabi, dan ulama lain adalah bodoh.

3. Meniti Kesempurnaan Iman


3. Pernyataan Abdullah bin Baaz mengenai larangan membuat bangunan ataupun membangun masjid   diatas kuburan. Seseorang bertanya “Di kalangan kami ada di antara pemuka – pemuka sufi yang kerjanya membuat kubah dan bangunan diatas kuburan. Orang – orang meyakini keshalihan dan keberkahan pada mereka. Kalau hal ini tidak disyaria’atkan maka tolong mereka dinasehati karena mereka adalah panutan di tengah – tengah masyarakat. Terima kasih, semoga Allah memberkahi”. Syekh Abdul Aziz bin Baz menjawab: Nasehat saya kepada para ulama sufi dan ulama lainnya, hendaklah mer eka ber pegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw dan mengajarkannya kepada manusia dan tidak mengikuti amalan generasi sebelumnya yang bertentangan dengan kedua sumber tersebut. Agama ini tidak berdasarkan taklid buta kepada syekh dan selain mereka tetapi agama ini berdasarkan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw bersabda: “Allah telah melaknat kamu Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid”. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah Saw (dalam hadits ini) memperingatkan agar mengindari perbuatan mereka”. Dan diriwayatkan dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah bahwa mereka menceritakan kepada Rasulullah Saw perihal gereja berikut lukisan – lukisan yang ada didalamnya yang pernah mereka lihat di Habasyah, kemudian Rasulullah Saw bersabda :“Mereka itu apabila salah seorang yang shaleh diantara mereka meninggal, mereka bangun diatas kuburnya sebuah masjid dan mereka buat lukisan – lukisan tadi, mereka itulah sejelek – jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ummu Habibah bahwa mereka menceritakan kepada Rasulullah Saw perihal gereja berikut lukisan – lukisan yang ada didalamnya yang per nah mer eka lihat di Habasyah, kemudian Rasulullah Saw bersabda Rasulullah Saw telah mengkhabarkan bahwa orang yang membangun masjid diatas kuburan itu adalah sejelek – jelek makhluk. Demikian pula yang membuat lukisan si mayit di atas kuburannya karena hal itu merupakan faktor pemicu perbuatan syirik. Karena masyarakat ketika melihat ada masjid dan kubah – kubah diatas kuburan, otomatis mereka akan mengkultuskan dan mengagung – agungkan akan mayit (yang dikubur di bawah masjid tersebut) meminta pertolongan kepadanya, bernadzar untuknya dan berdoa serta mohon bantuan kepadanya. Ini merupakan syirik akbar. Dalam hadits, Jundub bin Abdillah Al Bajali radiyallahu anhum yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Rasulullah Saw ber sabda “Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku boleh menjadikan salah seorang umatku sebagai kekasihku, niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ingat! Sesungguhnya orang – orang yang sebelum kamu menjadikan kuburan para Nabi dan orang – orang yang shaleh diantara mereka sebagai masjid. Ingat! Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kamu sekalian dari hal demikian”. Hadits ini menunjukkkan keistimewaan Abu Bakar AshShiddiq, beliau adalah sahabat yang paling mulia dan baik sehingga kalaulah dibolehkan, Rasulullah Saw mengambil seorang khalil (kekasih), niscaya dia akan mengambil Abu Bakar sebagai khalilnya. Tetapi Allah melarangnya dari demikian agar cintanya hanya semata – mata tertuju kepada Allah karena khalil itu adalah tingkatan cinta dan kasih yang paling tinggi. Hadist ini juga menunjukkan haramnya membangun dan membuat masjid di atas kuburan serta mencela orang yang melakukannya dalam tiga redaksi larangan: Pertama Mencela orang yang melakukannya, Kedua Sabda beliau “Maka janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid” Ketiga Sabda beliau “Sesungguhnya aku melarang kamu sekalian berbuat demikian” Rasulullah Saw melarang membangun diatas kuburan dengan tiga bentuk larangan tersebut yaitu sabda beliau  “Sesungguhnya orang–orang yang sebelum kamu menjadikan kuburan para Nabi dan orang–orang yang shaleh diantara mereka sebagai masjid”, kemudian beliau bersabda “Ingat! Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid”. Artinya janganlah kamu mencontoh mereka, sesungguhnya aku melarang kamu sekalian dari berbuat demikian. Ini merupakan larangan tegas membangun diatas kuburan dan menjadikannya sebagai masjid. Hikmah dari larangan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh para ulama agar hal itu tidak menjadi jalan yang akan membuat seseorang terjebak ke perbuatan syirik akbar, seperti menyembah kepada para penghuni kubur, berdoa, bernadzar, beristighatsah, berkorban, memohon bantuan dan pertolongan kepada mereka yang telah mati, sebagaimana yang terjadi pada kuburan Badaawi, Hissi, Siti Nafisah, Zainab dan kuburan lainnya di Mesir. Begitu juga yang terjadi pada banyak kuburan yang ada di Sudan dan negara–negara Islam lainnya. Dan hal ini juga terjadi pada kuburan Nabi yang ada di Madinah, kuburan Baqi’, kuburan Khadijah dan kuburan lainnya seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji yang jahil. Maka mereka itu butuh sekali kepada bimbingan dan arahan yang benar dari para ulama. Dan mereka itu, baik itu ulama sufi dan ulama syari’ah secara umum wajib takut kepada Allah dan menasehati manusia dan mengajarkan agama kepada mereka serta mengingatkan agar mereka tidak membangun diatas kubur, atau membuat masjid atau kubah diatasnya serta bangunan - bangunan lainnya.

Tanggapan Habib Munzir Al Musawa mengenai larangan membuat bangunan ataupun membangun masjid di atas kuburan: Rasul saw shalat ghaib di pekuburan umum, Rasul saw shalat jenazah (shalat ghaib) menghadap kuburan setelah dimakamkan di sebuah pemakaman, lalu bermakmum dibelakang beliau shaf para sahabat, beliau saw bertakbir dengan 4 takbir (Shahih Muslim hadits No.954).
Nabi saw shalat (shalat gaib) diatas kuburan (shahih Muslim hadits No.955). Telah wafat seseorang yang biasa berkhidmat menyapu masjid, maka Rasul saw bertanya tentangnya dan para sahabat berkata bahwa ia telah wafat, maka Rasul saw bersabda: “Apakah kalian tak memberitahuku??” maka para sahabat seakan tak terlalu menganggap penting, mengabarkannya, maka Rasul saw berkata: “Tunjukkan padaku kuburnya!”, maka Rasul saw mendatangi kuburnya lalu menyalatkannya, seraya bersabda: “Sungguh penduduk pekuburan ini penuh dengan kegelapan, dan Allah menerangi mereka dengan shalatku atas mereka” (Shahih Muslim hadits No.956), hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.1258).
Kita akan lihat ucapan para Imam : 
1. Berkata Guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Imam Syafii rahimahullah:  “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid, (*Imam syafii tidak mengharamkan memuliakan seseorang hingga membangun kuburnya menjadi masjid, namun beliau mengatakannya makruh), karena ditakutkan fitnah atas orang itu atau atas orang lain, dan hal yang tak diperbolehkan adalah membangun masjid diatas makam setelah jenazah dikuburkan, Namun bila membangun masjid lalu membuat didekatnya makam untuk pewakafnya maka tidak ada   larangannya”. Demikian ucapan Imam   Syafii (Faidhul qadir Juz 5 hal.274).
2. Berkata Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy: “Hadits–hadits larangan ini adalah larangan shalat dengan menginjak kuburan dan diatas kuburan, atau berkiblat ke kubur atau diantara dua kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sahnya shalat, (*maksudnya bilapun shalat diatas makam, atau mengarah ke makam tanpa pembatas maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat dihadapan kuburan maka Umar berkata: Kuburan..kuburan..!, maka Anas melangkahinya dan meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan tidak batal”. (Fathul Baari Almayshur juz 1 hal 524).
3. Berkata Imam Ibn Hajar: “Berkata Imam Al Baidhawiy: ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung–patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525).
Berkata Imam Al Baidhawiy: “Bahwa Kuburan Nabi Ismail as adalah di Hathiim (disamping Miizab di ka’bah dan di dalam Masjidil Haram) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yang sudah tergali (Faidhulqadiir Juz 5 hal 251).
Kita memahami bahwa Masjidirrasul saw itu didalamnya terdapat makam beliau saw, Abubakar ra dan Umar ra, masjid diperluas dan diperluas, namun bila saja perluasannya itu akan menyebabkan hal yang dibenci dan dilaknat Nabi saw karena menjadikan kubur beliau saw ditengah – tengah masjid, maka pastilah ratusan Imam dan Ulama dimasa itu telah memerintahkan agar perluasan tidak perlu mencakup rumah Aisyah ra (makam Rasul saw). Perluasan adalah di zaman Khalifah Walid bin Abdulmalik sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, sedangkan Walid bin Abdulmalik dibai’at menjadi khalifah pada 4 Syawal tahun 86 Hijriyah, dan ia wafat pada 15 Jumadil Akhir pada tahun 96 Hijriyah. Lalu dimana Imam Bukhari? (194 H-256 H), Imam Muslim? (206 H–261H), Imam Syafii? (150 H–204 H), Imam Ahmad bin Hanbal? (164 H–241 H), Imam Malik? (93 H–179 H), dan ratusan imam imam lainnya? apakah mereka diam membiarkan hal yang dibenci dan dilaknat Rasul saw terjadi di Makam Rasul saw?, lalu Imam - imam yang hafal ratusan ribu hadits itu adalah para musyrikin yang bodoh dan hanya menjulurkan kaki melihat kemungkaran terjadi di Makam Rasul saw??.Munculkan satu saja dari ucapan mereka yang mengatakan bahwa perluasan Masjid Nabawiy adalah makruh. apalagi haram. Justru inilah jawabannya, mereka diam karena hal ini diperbolehkan, bahwa orang yang kelak akan bersujud menghadap Makam Rasul saw itu tidak satupun yang berniat menyembah Nabi saw, atau menyembah Abubakar ra atau Umar bin Khattab ra, mereka terbatasi dengan tembok, maka hukum makruhnya sirna dengan adanya tembok pemisah, yang membuat kubur – kubur itu terpisah dari masjid, maka ratusan Imam dan Muhadditsin itu tidak melarang perluasan masjid Nabawiy bahkan masjidil Haram pun berkata Imam Baidhawiy bahwa kuburan Nabi Ismail adalah di Masjidil Haram.
Kesimpulannya larangan membuat masjid diatas makam adalah  menginjaknya dan menjadikannya terinjak – injak, ini hukumnya makruh, dan ada pendapat yang mengatakannya haram.

4. Meniti Kesempurnaan Iman

4. Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa memperingati Maulid Nabi Muhammad saw adalah bid’ah. Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurah untuk Rasulullah, keluarga, para sahabatnya dan untuk seluruh orang yang mengikuti petunjuknya. Banyak sekali orang yang bertanya tentang hukum memperingati Maulid Nabi Saw dan berdiri bersama ketika peringatan berlangsung serta memberi salam kepada Nabi Saw dan hal lainnya yang dilakukan orang – orang pada peringatan tersebut. Jawabannya: Tidak boleh memperingati hari maulid Nabi saw dan maulid siapapun, karena hal itu merupakan bid’ah yang diada – adakan dalam agama. Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin dan para Sahabat, begitu pula para tabi’in yang berada pada kurun terbaik tidak pernah melakukannya. Padahal mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah dan orang yang paling sempurna cintanya kepada Rasulullah Saw serta paling konsisten dalam mengikuti syari’atnya disbanding dengan orang–orang yang datang setelah mereka. Nabi Saw ber sabda: “Barangsiapa yang mengada – adakan dalam urusan agama kami tanpa dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”. Dalam hadits lain beliau bersabda: “Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk setelahku,  berpegang teguhlah dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal–hal yang diada–adakan dalam agama, sesungguhnya setiap hal yang diada–adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”. Dua hadits ini merupakan peringatan yang keras kepada kita agar tidak mengada – ada bid’ah dan mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Quran: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (Qs. Al Hasr: 7).
“Maka hendaklah orang – orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (Qs. An Nur: 63). “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Qs. Al Ahzab: 21).
“Orang – orang yang terdahulu lagi yang pertama – tama (masuk Islam) di antara orang – orang Muhajirin dan Anshar dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga – surga yang mengalir sungai – sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama – lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (Qs. At Taubah: 100).
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu, dan telah Aku ridha Islam sebagai agama bagimu” (Qs. Al Maidah: 3). Dan banyak lagi ayat – ayat lain yang semakna dengan ini.
Dengan mengada – adakan semacam peringatan maulid, terkesan bahwa Allah Ta’ala belum menyempurnakan agama untuk umat ini dan Rasulullah Saw belum menyampaikan semua yang patut diamalkan oleh mereka maka generasi terakhir mengada – ada dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dengan keyakinan bahwa hal tersebut bisa mnedekatkan mereka kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini sangat berbahaya dan merupakan pembangkangan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena Allah telah menyempurnakan agama ini untuk para hambaNya untuk mereka. Begitu pula Rasulullah Saw telah menyampaikan risalahnya dengan sempurna. Tidak ada satupun jalan yang membawa umat ke surga, dan yang menjauhkan mereka dari api neraka kecuali Rasulullah Saw telah terangkan kepada mereka.
Di dalam hadits yang shahih dari Abdullah bin Amr radiyallahu anhum, Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan diwajibkan atasnya agar menunjukkan umatnya kepada semua kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan mengingatkan mereka (agar menghindari) semua keburukan yang diketahuinya bagi mereka” (HR. Muslim). 
Telah dimaklumi bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah Nabi terakhir dan yang paling mulia serta Nabi yang paling sempurna nasehat dan risalahnya. Jikalau peringatan maulid ini termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Swt maka Rasulullah Saw pasti menyampaikannya kepada umat atau melakukannya semasa hidupnya atau dilakukan oleh para sahabat. Namun tidak ada satupun hal tersebut yang terjadi. Ini berarti dalam ajaran Islam dan merupakan hal yang diada – adakan yang mana Rasulullah Saw telah mengingatkan umat agar menghindarinya, sebagaimana telah disebutkan pada dua hadits yang lalu dan hadits – hadits lain yang semakna dengan itu, seperti sabda Rasulullah Saw ketika khutbah Jum’at. “Selanjutnya: Sesungguhnya sebaik – baik perkataan adalah Al Quran, sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, sejelek – jelek perkara adalah hal – hal yang diada – adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat” (HR. Muslim).
Sejumlah ulama secara tegas mengingkari dan melarang peringatan maulid, berdasarkan kepada dalil – dalil di atas dan dalil – dalil lainnya. Sebagian ulama dari kalangan  mutaakhirin membolehkannya selama tidak mengandung hal – hal yang munkar, seperti berlebihan dalam pujian – pujian kepada Rasulullah, campur baur antara laki – laki dan wanita, menggunakan alat – alat musik dan hal – hal lain yang tidak dibolehkan oleh syara’. Mereka menganggap hal itu merupakan bid’ah hasanah. Padahal dalam kaidah syari’ah dikatakan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan manusia wajib dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah, Allah berfirman:“Hai orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar–benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
Dan kita telah kembalikan masalah peringatan maulid ini kepada Al Quran dan kita dapatkan di dalamnya bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk mengikuti seluruh yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan mengingatkan kita agar menjauhi semua yang dilarangnya. Al Quran juga memberitakan kepada kita bahwa Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama untuk umat ini, sedangkan peringatan maulid tidak termasuk dalam apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ini berarti ia tidak termasuk ajaran agama yang telah disempurnakan Allah bagi kita dan Allah telah memerintahkan kita semua untuk mengikuti Rasulullah Saw. Kita juga telah kembalikan permasalahan ini kepada Rasulullah Saw, kemudian kita tidak mendapatkan bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkannya. Begitu pula para sahabat, mereka juga tidak pernah mengamalkannya. Dengan demikian kita ketahui bahwa ia tidaklah termasuk ajaran agama kita tetapi hal itu meruapkan bid’ah yang diada – adakan dan mencontoh kaum Yahudi dan Nashrani dalam perayaan – perayaan mereka. Maka jelaslah bagi siapa saja yang menginginkan yang haq bahwa perayaan maulid bukanlah bagian dari ajaran Islam tetapi ia adalah bid’ah yang dibuat – buat, yang mana Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk meninggalkan dan menghindarinya. Tidaklah patut bagi seseorang yang berakal, tergiur dengan banyaknya orang yang melakukan hal tersebut di berbagai belahan dunia. Sesungguhnya ukuran kebenaran itu, bukanlah pada banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi, ukurannya adalah dalil – dalil syara’, sebagaimana Allah berfirman tentang orang – orang Yahudi dan Nashrani.
“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata “Sekali – kali tidak akan masuk surga kecuali orang – orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani, demikian itu hanya angan – angan mereka yang kosong belaka”. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang–orang yang benar” (QS. Al Baqarah: 111).
Allah berfirman:  “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang – orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Qs. Al An’am: 116).
Di samping perayaan maulid tersebut adalah bid’ah, biasanya ketika acara berlangsung banyak mengandung kemunkaran lain, seperti campur baur laki – laki dan wanita, nyanyian dan alat – alat musik, minuman yang memabukkan, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan terjadi juga hal yang lebih parah dari itu semua yaitu syirik akbar dengan menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap Rasulullah Saw atau selainnya seperti para wali serta berdoa memohon pertolongan dan bantuan kepadanya dan meyakini bahwa dia mengetahui hal yang ghaib dan berbagai bentuk kekufuran lainnya yang dicontoh oleh kebanyakan orang yang menghadiri perayaan maulid Nabi Saw tersebut dari orang – orang yang mereka sebut sebagai wali – wali.
Di dalam hadits yang shahih Rasulullah Saw bersabda: “Hindarilah oleh kamu sekalian bersikap ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama itulah yang telah menyebabkan hancurnya orang – orang yang sebelum kamu”.
Dan Rasulullah Saw bersabda : “Janganlah kamu sekalian berlebih – lebihan dalam memujiku sebagaimana orang – orang Nashrani berlebihan dalam memuji (Isa) putra Maryam, maka ucapkanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari dari Umar radiyallahu anhum).
Merupakan suatu hal yang aneh dan mengherankan bahwa banyak diantara manusia yang rajin dan bersemangat dalam menghadiri perayaan – perayaan bid’ah tersebut. Bahkan mereka membela dan mempertahankannya tapi disisi lain mereka meninggalkan hal – hal yang secara jelas diwajibkan Allah kepada mereka, seperti menghadiri shalat Jum’at dan shalat berjama’ah. Mereka tidak mengindahkannya dan tidak menganggap bahwa mereka dengan demikian telah berbuat kemunkaran yang  besar.
Ini jelas sekali, disebabkan oleh kelemahan iman serta minimnya pemahaman dan pengetahuan terhadap agama, disamping hati yang kotor yang telah dibalut oleh berbagai macam jenis dosa dan maksiat. Hanya kepada Allah kita memohon, keselamatan untuk kita dan seluruh kamu muslimin di dunia dan akhirat. Di antara hal yang aneh juga bahwa sebagian mereka meyakini bahwa Rasulullah Saw hadir bersama mereka dalam acara maulid tersebut. Oleh kar ena itu mer eka secara bersama – sama berdiri untuk menyambut dan memberi penghor matan kepada beliau. Ini merupakan kebathilan dan kebodohan yang nyata karena Rasulullah Saw tidak akan keluar dari kuburnya sebelum hari kiamat dan selama itu beliau tidak akan berhubungan dengan siapapun dan tidak akan hadir dalam pertemuan – pertemuan mereka. Akan tetapi beliau akan tetap tinggal di kuburnya sampai hari kiamat sedangkan ruh beliau berada di tempat tertinggi di sisi Allah di tempat yang mulia.
Allah berfirman: “Kemudian kamu sekalian setelah itu benar – benar akan mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian pada hari kiamat akan dibangkitkan (dari kuburmu)” (QS. Al Mukminun: 15-16). Rasulullah Saw bersabda: “Aku adalah orang pertama yang akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan aku adalah orang pertama yang memberi syafa’at dan yang diizinkan memberi syafa’at”.
Ayat dan hadits diatas, begitu pula ayat – ayat dan hadits – hadits lain yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Nabi Saw and orang – orang yang meninggal dunia lainnya akan dibangkitkan dari kubur – kubur mereka pada hari kiamat. Ini telah merupakan Ijma’ (kesepakatan) para ulama. Maka setiap muslim harus hati–hati dalam hal ini, jangan sampai terjerumus kepada bid’ah dan khurafat yang sengaja diada – adakan oleh orang – orang jahil dan yang sejenis dengan mereka. Hanya Allah tempat kita memohon pertolongan, hanya kepada-Nya kita berserah diri dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin-Nya.
Adapun mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah saw adalah termasuk ibadah dan amal shaleh yang paling  afdhal  (utama), sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya Allah dan malaikat – malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang–orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi
dan ucapkanlah salam kepadanya” (QS. Al Ahzab: 56).
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku dengan satu shalawat maka Allah akan bershalawat (memberi Rahmat) kepadanya dengan sepuluh kali lipat”.
Shalawat tersebut disyari’atkan di setiap waktu, terutama penghujung shalat. Bahkan menurut sejumlah ulama. Hukumnya adalah wajib pada tasyahhud akhir dalam setiap shalat, dan sunah muakkad pada beberapa waktu, diantaranya adalah setelah adzan, ketika disebut nama Nabi Saw, pada hari Jum’at dan malamnya sebagaimana yang tertera dalam banyak hadits yang shahih. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita dan seluruh kamu muslimin untuk memahami dan mendalami Islam, serta konsisten dengannya dan menganugerahkan kepada kita semua kekuatan untuk tetap berpegang teguh kepada sunnah dan menjauhi bid’ ah. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Mulia. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Tanggapan Habib Munzir Al Musawa mengenai mereka yang mengingkari Maulid: “Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw”. Ketika kita membaca kalimat disamping maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin , saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar ’an, (logika dan syariah).
Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw. Allah merayakan hari kelahiran para Nabi-Nya:
•             Firman Allah: “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS. Maryam: 33).
•             Firman Allah: “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS. Maryam: 15).
•             Rasul saw lahir  dengan  keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits No.4177)
•             Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu Utsman) melihat bintang – bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang – benderang  keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul
Bari Almasyhur juz 6 hal 583).
•             Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).
•             Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang – bender ang hingga pandangannya menembus dan melihat istana - istana
Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) .
•             Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabinabi sebelumnya. Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw. Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab: “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162) dari hadits ini sebagian saudara-saudara kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa. Rasul saw jelas – jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya: “Oh puasa hari senin itu mulia dan boleh – boleh saja..”, namun beliau bersabda: “Itu adalah hari kelahiranku” menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari-hari lainnya. Contoh mudah misalnya Zeyd bertanya pada Amir: “Bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?” maka amir menjawab: “Oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas – jelas bahwa Zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang berbeda dari hari – hari lainnya bagi Amir? dan Amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 Januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau Amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut–nyebut bahwa 1 Januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya. Pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tidak memerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak? Rasul saw menjawab hari itu hari kelahir anku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam. Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw. Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra: “Izinkan aku memujimu  wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “Silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga” maka Abbas ra memuji dengan syair yg panjang, diantaranya: “… dan engkau ( wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417).
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi saw. Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya: “ Bagaimana keadaan mu ? ” Abu Lahab menjawab: “Di neraka, cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits No.13701, Syi’bul Iman No.281, Fathul Baari Almasyhur juz 11 hal 431).
Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya. Walaupun mimpi tidak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam - imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tidak mengingkarinya. Lebih lagi hal itu teriwayatkan pada Shahih Bukhari, dan sebagian para Muhadditsin pun mengatakan: ”Tidak mudah untuk mengingkari hal ini, karena Imam Bukhari meriwayatkan hal itu pada shahih nya.
Karena walaupun hal itu Cuma mimpi Abbas ra, tapi sudah berubah menjadi ucapan Abbas ra karena ia telah mengucapkannya, dan jika hal itu batil maka Sayyidina Abbas ra tak akan menceritakannya, dan diperkuat pula Imam Bukhari pada Shahih nya meriwayatkan ucapan Abbas ra itu, maka ucapan itu telah menjadi hujjah, karena diucapkan oleh Sahabat besar, Abbas bin Abdulmuttalib ra paman Nabi saw. Dan diriwayatkan pada Shahih Bukhari.
Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid. Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata “Aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw) lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata: “Bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan doa: Wahai Allah bantulah ia dengan RuhulQudus? maka Abu Hurairah ra berkata: “Betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits No.2485).
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair – syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair – syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk Hassan bin Tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair – syairnya (Mustadrak ala Shahihain hadits No.6058, Sunan Attirmidzi hadits No.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata: “Jangan kalian caci Hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw” (Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).

PENDAPAT PARA IMAM DAN MUHADDITS
ATAS PERAYAAN MAULID
1. Pendapat Imam Al hafidh Ibn hajar AlAsqalaniy rahimahullah:
   Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata    “Hari ini hari ditenggelamkannya Fir ’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw: “Kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur ’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt  “Sungguh Allah telah memberikan anugerah pada orangorang mu’min ketika dibangkitkannya Rasul dari mereka” (QS. Al Imran:  164)
2. Pendapat Imam Al hafidh Jalaluddin AsSuyuthi rahimahullah:  Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw berakikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis No.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber-aqiqah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw berumur 7 tahun, dan aqiqah tak mungkin diperbuat dua kali.
   Maka jelaslah bahwa aqiqah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’ aalamiin d an memb awa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dengan makanan - makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan dir i kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan I mam As s uyuthiy mengar ang s ebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3 .Pendapat Imam Al  hafidh AbuSyaamah rahimahullah (guru Imam Nawawi):  Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif MaulidisSyariif: Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? ia menjawab: “Di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). Maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun meng atakannya dineraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw? maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh - sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab Anugerah-Nya.
5. Pendapat Imam Alhafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy rahimahullah dalam  kitabnya Auridusshaadiy fii Maulidul haadiy:   Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy, yaitu menukil hadits Abu Lahab.
6. Pendapat Imam Al hafidh AsSakhawiy  rahimahullah dalam kitab Sirah  Al halabiyah:   Berkata ”Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah  pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memper hatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah: Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata: ”Ketahuilah  salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”.
8. Imam Al hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah: Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”Al Aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid,  ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al hafidh AlQasthalani rahimahullah: Dalam kitabnya ”Al Mawahibulladunniyyah” juz 1 hal 148 cetakan al maktab Al Islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddits AbulKhattab Umar bin Ali bin Muhammad rahimahullah yang terkenal dengan Ibn Dihyah AlKalbi: Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.
11. Imam Al hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah AlJuzri rahimahullah:  Dengan maulidnya ”Urfu at ta’rif bi maulid assyarif”.
12. Imam Al hafidh Ibn Katsir rahimahullah: Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama ”Maulid Ibn Katsir”.
13. Imam Al hafidh Al ’Iraqy rahimahullah: Dengan maulidnya ”Maurid al hana fi maulid assana”.
14. Imam Al hafidh Nasruddin Addimasyqiy rahimahullah: Telah mengarang beberapa maulid ”Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar”  3 jilid, ”Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq”, ”Maurud asshadi fi maulid al hadi”.
15. Imam AsSyakhawiy rahimahullah: Dengan maulidnya ”Al fajr al ulwi fi maulid an nabawi”.
16. Al Allamah Al faqih Ali Zainal Abidin AsSyamuhdi: Dengan maulidnya ”Al mawarid al haniah fi maulid khairil   bariyyah”.
17. Al Imam  hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad AsSyaibaniy yang terkenal  dengan nama Ibn Diba’: Dengan maulidnya ”AdDibai’i”.
18. Imam Ibn hajar Alhaitsami: Dengan maulidnya  ”Itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam”.
19. Imam Ibrahim Baajuri: Mengarang hasiah atas maulid Ibn hajar dengan nama ”Tuhfah al basyar ala maulid Ibn hajar”.
20. Al Allamah Ali Al Qari’: Dengan maulidnya  ”Maurud arrowi fi maulid nabawi”.
21. Al Allamah Al Muhaddits Ja’far bin hasan AlBarzanji: Dengan maulidnya yang terkenal ”Maulid  Barzanji”.
22. Al Imam Al Muhaddist Muhammad bin Jakfar  Al Kattani:  Dengan maulid  ”Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad”.
23. Al Allamah Syeikh yusuf bin Ismail  AnNabhaniy:Dengan maulid  ”Al jawahir an nadmu al badi fi maulid as syafii’”.
24. Imam Ibrahim AsSyaibaniy: Dengan maulidnya  ”Al maulid musthofa adnaani”.
25. Imam Abdulghaniy Annablisy: Dengan maulidnya  ”Al alam al ahmadi fi maulid muhammadi”.
26. Syihabuddin Al halwani: Dengan maulid ”Fath al latif fi syarah maulid assyarif”.
27. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati: Dengan maulid ”Al kaukab al azhar alal ’iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar”.
28. AsSyeikh Ali Attanthowiy: Dengan maulid  ”Nur as shofa’ fi maulid al musthofa”.
29. AsSyeikh Muhammad Al Maghribi: Dengan maulid ”At tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah”.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas – jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

BERDIRI SAAT MAHAL QIYAM DALAM  PEMBACAAN MAULID
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa r isalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum Anshar “Berdirilah untuk tuan kalian” ( Shahih Bukhari hadits No.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’ab bin Malik ra. Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tidak apa-apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun ada pula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan (Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 12 hal 93).
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa–apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, Semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.
Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.
Diriwayatkan bahwa Imam Al Hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji – pujian untuk Nabi saw, lalu diantara syair - syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam–imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan.
Dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa “Bid’ ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist Shahih Muslim No.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah”.
Dan berkata pula Imam As Sakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137).
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan para muslimin untuk Medan Tablig dan ber silatur ahmi sekaligus mendengar kan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji - pujian pada Allah dan Rasul saw yang sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas – jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai). Sebagaiman kaidah syariah bahwa  “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib.
Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tidak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah. Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tidak peduli dengan Nabinya saw, tak pula peduli apalagi mencintai Sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tabligh ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur ‘an yang merupakan suatu hal yang tidak perlu dizaman Nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang membutuhkan penjelasan Alqur ’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur ’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur ’an telah dijaga oleh Allah. Hal semacam ini telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yang awam, namun hanya sebagian saudara–saudara kita muslimin yang masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.
(Walillahittaufiq).