Jumat, 18 Februari 2011

7. Meniti Kesempurnaan Iman

7. Pernyataan Abdullah Bin Baz mengenai pelarangan mengkhususkan ibadah di malam Isra’ Mi’raj. Segala puji bagi Allah semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Tidak diragukan lagi bahwa kejadian Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu tanda Maha Kuasa Allah swt dan menunjukkan kebenaran kerasulan Muhammad Saw dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah. Ia juga merupakan bukti kodrat Allah Yang Maha Hebat serta menunjukkan ketinggian Allah di atas semua makhluk-Nya, Allah berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba- Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang telah kamu berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda – tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Qs. Al Isra’: 1).
Telah menjadi berita mutawatir dari Rasulullah saw bahwa beliau telah di Mi’raj-kan oleh Allah ke langit, pintu - pintunya telah dibukakan untuk beliau hingga melewati langit ketujuh dan Allah langsung berbicara dengannya. Dan saat itu Allah mewajibkan kepadanya shalat lima waktu. Pertama kali, Allah mewajibkan kepadanya shalat lima puluh waktu dan beliau lantas beberapa kali merujuk kepada Allah, memohon keringanan hingga akhirnya menjadi lima waktu tapi pahalanya tetap pahala lima puluh waktu shalat karena satu kebaikan ganjarannya adalah sepuluh kali lipat. Segala puji dan syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya. Tidak ada satupun hadits shahih yang menentukan malam terjadinya Isra dan Mi’raj. Semua hadits yang menerangkan ketentuan malam terjadinya peristiwa itu adalah lemah menurut ulama hadits. Allah lebih tahu akan hikmah tidak diketahuinya malam kejadian tersebut. Kalaupun ada ketentuan malam tersebut, tetap saja tidak dibolehkan bagi kaum muslimin untuk mengkhususkannya dengan ibadah tertentu, begitu juga tidak boleh bagi mereka merayakannya. Karena yang demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabat. Seandainya memperingati malam tersebut disyari’atkan maka Rasulullah Saw pasti men jelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dan kalau itu pernah dilakukan beliau, pasti akan diketahui dan tersebar dan para sahabat pasti menukilnya kepada kita, karena mereka telah menukil dari Nabi Saw semua yang dibutuhkan oleh umat. Dan tidak ada satupun yang luput dari mereka, nahkan mereka selalu di barisan pertama dalam melakukan segala macam kebaikan. Seandainya memperingati malam tersebut disyar i’atkan maka pasti mereka orang yang pertama melakukannya dan Nabi saw adalah pemberi nasehat yang ter baik. Beliau telah menyampaikan risalahnya dan mengemban amanat dengan sempurna. Kalaulah peringatan malam ini termasuk ajaran Islam pasti beliau tidak akan lupa menyampaikannya dan beliau tidak akan menyembunyikannya. Karena semua itu tidak ada terjadi maka jelaslah bagi kita bahwa memperingati dan mengagungkan malam tersebut tidak termasuk ajaran Islam karena Allah telah menyempurnakan agama dan nikmatNya untuk umat ini dan mengingkari siapa saja yang mensyari’atkan dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah. Allah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu”. Dalam surat Asy Syu’ara ayat 21 , Allah berfirman: “Apakah mereka mempunyai sembahan – sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan dan sesungguhnya orang – orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih”. Di dalam beberapa hadits yang shahih Rasulullah Saw secara tegas melarang perbuatan bid’ah itu adalah sesat. Sebagai peringatan bagi umat akan besar bahayanya sehingga mereka menghindarinya. Di antara hadits tersebut adalah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang mengada–ada dalam urusan agama kami tanpa ada dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”. Dalam riwayat Muslim dikatakan: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu akan ditolak (tidak diterima)”. Dalam Shahih Muslim dari Jabir radiyallahuanhum bahwa Nabi Saw bersabda : “Sesungguhnya sebaik – baik perkataan adalah Al Quran, sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, sejelek – jelek perkara adalah hal – hal yang diada – adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Di dalam kitab “As Sunan” dari Al ‘Irbadh bin Sariah radiyallahuanhum beliau berkata Kami telah dinasehati oleh Rasulullah Saw dengan nasehat yang mendalam yang membuat hati  kami bergetar dan mata kami berlinang, lalu kami berkata kepada beliau “Wahai Rasulullah, seakan – akan ini adalah nasehat perpisahan, berwasiatlah kepada kami! Maka beliau berkata “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengar dan taat (kepada pemimpin) sekalipun dia seorang hamba sahaya, sesungguhnya barangsiapa diantara kamu yang hidup setelah aku niscaya dia akan menemukan banyak sekali perselisihan maka berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal – hal yang diada – adakan dalam agama, sesungguhnya setiap hal yang diada –adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Dan banyak lagi hadits – hadits lain yang semakna dengan ini. Para sahabat Rasulullah Saw dan Salafusshaleh yang datang setelah mereka, telah mengingatkan kita agar mengindari perbuatan bid’ah karena ia merupakan tambahan terhadap agama dan pensyari’atan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah serta mencontoh perlakukan musuh – musuh  Allah yaitu orang – orang Yahudi dan Nashrani ketika mereka menambah dan mengada – adakan dalam agama mereka syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah. Dan bid’ ah itu pada hakekatnya adalah pelecehan terhadap agama Islam serta menuduhnya sebagai agama yang kurang dan tidak sempurna. Oleh karena itu ia merupakan unsur perusak, kemunkaran yang keji serta bertentangan dengan firman Allah “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu”.
Dan jelas-jelas bertentangan dengan hadisthadits Rasulullah Saw yang melarang dan mencegah kita dari perbuatan bid’ah. Saya harap semoga dalil – dalil yang telah saya sebutkan di atas cukup dan memuaskan bagi para pembaca dalam rangka mengingkari peringatan dan perayaan malam Isra dan Mi’ raj serta menghindarinya dan peringatan tersebut tidaklah termasuk sedikitpun dalam ajaran Islam. Karena Allah telah mewajibkan kita semua untuk menasehati kaum muslimin serta menjelaskan apa yang telah disyari’atkan Allah kepada mereka dan mengharamkan kepada kita menyembunyikan ilmu maka saya merasa perlu untuk mengingatkan akan saudara – saudara saya seiman agar tidak terjebak kepada perbuatan – perbuatan bid’ah yang telah tersebar di berbagai wilayah kaum muslimin bahkan sebagian orang mengira bahwa itu termasuk perintah agama. Hanya kepada Allah kami memohon agar memperbaiki keadaan dan kondisi seluruh kaum muslimin serta menganugerahkan kepada mereka pemahaman dalam agama dan semoga Allah membimbing kita dan mereka semua untuk berpegang teguh dan komitmen kepada yang hak serta meninggalkan semua yang bertentangan dengannya. Karena Dia-lah Yang bisa membimbing kearah demikian dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala–galanya. Semoga shalawat dan salam serta berkah-Nya senantiasa tercurah untuk hamba dan Rasul-Nya Nabi kita Muhammad begitu pula atas keluarga dan para sahabatnya.

Tanggapan  Habib Munzir Al Musawa atas pelarangan mengkhususkan ibadah di malam Isra Mi’raj :
Mengenai “perayaaan” berupa maulid, isra mi’raj, awal tahun hijriyah, haul Badr dll itu adalah syiar islam, belum perlu dimasa nabi saw, namun sebagaimana penjelasan saya pada masalah Bid’ah, berikut tambahan atas Bid’ah hasanah. Mengenai ucapan Al Hafidh Imam Assyaukaniy, beliau tidak melarang hal yang baru, namun harus ada sandaran dalil secara logika atau naqli nya, maka bila orang yang bicara hal baru itu punya sandaran logika dan sandaran Naqli-nya, maka terimalah sebagaimana ucapan beliau “Hadits – hadits ini merupakan kaidah - kaidah dasar agama karena mencakup hukum - hukum yang tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan perbuatan para fuqaha dalam pembagian Bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan terhadap Bid’ah yang baik) dengan tanpa mengkhususkan ( menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an/hadits).
Maka bila kau dengar orang berkata: “Ini adalah Bid’ah hasanah”, dengan kau mengambil posisi melarangnya dengan bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid’ah adalah sesat dan yang semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw “Semua Bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal Bid’ah yang menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yang baik atau bid’ah yang sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu bid’ah (hal yang baru), maka bila ia membawa dalilnya tentang (Bid’ah hasanah) yang dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (aqlan wa syar’an) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).
Jelaslah bahwa ucapan Imam Assyaukaniy menerima Bid’ah hasanah yang disertai dalil Aqli (logika) atau dalil Naqli (dalil Alqur ’an atau hadits), bila orang yang mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia tidak bisa mengemukakan alasan secara logika, atau tidak ada sandaran Naqli-nya maka pernyataan tertolak, bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli-nya maka terimalah. Jelas-jelas beliau mengakui Bid’ah hasanah: Berkata Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ul Uluum Walhikam bahwa lafadhnya: “Kumpulan seluruh kalimat yang dikhususkan pada nabi saw ada dua macam, yang pertama adalah Alqur’an sebagaimana firman-Nya swt: “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” berkata Alhasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikan pun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua adalah hadits beliau saw yang tersebar dalam semua riwayat yang teriwayatkan dari beliau saw. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 5 hal 135).
Inilah makna dari ayat yang berbunyi “Alyauma akmaltu lakum diinukum..dst,“Hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan Kuridhoi Islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul Nya, alangkah sempurnanya islam. Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat - ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah AlMukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh - boleh saja.Maka jika ayat ini dijadikan dalil untuk melarang hal tidak tahu asbabunnuzul, dan jika aturan itu benar, maka telah dilanggar oleh para khulafa’urrasyidin, para imam, para hujjatul islam, dan seluruh madzhab, karena mereka semua berbuat Bid’ah hasanah selama tidak bertentangan dengan syariah.

BID’AH
1.Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita melakukan bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah. Sebagaimana sabda beliau saw “Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dar i pahalanya. Dan barangsiapa membuat – buat hal bar u yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits No.1017). Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan? Maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam maka perbuatlah.., Alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan. Maka tentunya pastilah diperlukan hal – hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat “Alyauma akmaltu lakum diinukum..dst,dst,  “Hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi Islam sebagai agama kalian”. 
Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini. Semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul-Nya. Alangkah sempur nanya I slam, bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat – ayat lain turun, masalah hutang dan lain – lain. Berkata para Mufassir in bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh – boleh saja. Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa – apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw “Barangsiapa yang membuat – buat hal baru yang berupa keburukan...dan seterusnya”. Inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan ber kembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah Dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas – jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
2. Siapakah yang pert ama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw? Ketika terjadi pembunuhan besar – besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur ’an dan Ahli Alqur ’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra: “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melapor kan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur ’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur ’an. Aku berkata : “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (Zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur ’an dan tulislah Alqur ’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung – gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur ’an. Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”. Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur ’an”. (Shahih Bukhari hadits No.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur ’an, karena sebelumnya Alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah – pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dan lain – lain. Ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya. Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan ( menghilangkan) bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan.
Diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan – akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..”, maka Rasul saw bersabda “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seor ang budak Afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat – kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati – hatilah  dengan hal – hal yang baru, sungguh semua yang Bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits No.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin. Dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw. Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits No.1906)  lalu pula selesai penulisan Alqur ’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yang dibuat – buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits No.873). Siapakah yang salah dan tertuduh ? , siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?
3. Bid’ah Dhalalah Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan bid’ah dhalalah. Dan bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat khulafa’urrasyidin. Nah., diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas – jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan bid’ah hasanah, bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin? Mereka melakukan Bid’ah Hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah Dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw. Bila kita menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajar an pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing – masing, melainkan hal itu merupakan ijma atau kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lain – lain. Iinipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para Tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain – lain sehingga kita dapat memahami kedudukan der ajat hadits. I ni semua adalah perbuatan bid’ah, namun Bid’ah Hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu disebut dalam Al- Qur an bahwa mer eka par a sahabat itu diridhoi Allah. Namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memer intahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas. Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah Hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya. Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Qur’an masih bertebaran di tembok – tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu – ribu versi Al-Quran di zaman sekarang. Karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing – masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal hadits – hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal – hal baru yang berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak. Dan beliau saw telah melarang hal – hal baru yang berupa keburukan (bid’ah dhalalah).
Saudara – saudaraku, jer nihkan hatimu menerima ini semua , ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Lalu ber kata pula Zeyd bin Har itsah r a ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah saw??,  maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”. Maka kuhimbau saudara – saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal – hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt.Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini. Maka barangkali hatimu belum dijer nihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah.
Dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham, yang maksudnya berpeganglah erat – erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin

Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris As syafii rahimahullah ( Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2.Al Imam Al hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru. Dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal – hal yang tidak sejalan dengan Alqur ’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya. “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal bar u yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits No.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al hafidh Al Imam Abu Zakariya yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits “Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “Semua yang baru adalah Bid’ah , dan semua yang Bid’ah adalah sesat”. Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan yang menentang kemungkaran.
Contoh bid’ ah yang mandub ( mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku – buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan bid’ah yang mubah adalah bermacam – macam dari jenis makanan. Dan bid’ah yang makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum. Sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik – baik bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya). Seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” (QS. Assajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati – hati dar imanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa – fatwa para Imam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar